Muslimahdaily - Bagi mualaf di negeri minoritas Islam, pilihan berislam artinya siap menanggung segala resiko sosial. Pun bagi Malaika Kayani. Wanita Inggris yang berislam sejak tujuh tahun silam tersebut harus menghadapi segala resiko bahaya acap kali keluar dari rumahnya.
“Sejak penyerangan Paris, kondisi menjadi sangat buruk. Saya merasa seperti mengambil resiko yang tinggi ketika keluar rumah dengan berjilbab,” ujarnya dikutip dari laman Telegraph.
Namun ternyata itu bukanlah sekedar perasaan takut, melainkan terjadi nyata. Pernah ia berhijab dari rumah dan menaiki kendaraan umum. Reaksi yang diterimanya beragam, dari pandangan sinis, seorang berpindah kursi dan menjauh dari sampingnya, hingga dipikuli. “Terkadang Anda tidak memiliki kekuatan untuk melawan pukulan hampir setiap hari,” tutur wanita berusia 49 tahun tersebut.
Kisah perjalanan hidayah Malaika berawal dari interaksi dengan seorang teman beragama muslim. Itu adalah kali pertamanya mengenal muslim dan ternyata fakta jauh dari dugaannya selama ini. Sebelumnya ia melihat Islam sebagai agama yang menindas penganutnya dan memiliki ajaran yang negatif.
“Ketika saya mengobrol dengannya (teman muslim), ternyata mereka tidak seperti yang saya bayangkan,” ujarnya. Sebelum berislam, Malaika bernama Debbie dan menganut agama Budha. Ia pula seorang feminis dan sangat vokal menyuarakan persamaan gender.
Namun sejak mengenal Islam dari kawannya tersebut, ia tertarik pada Al-Qur’an kemudian mempelajarinya. Malaika bahkan heran pada diri sendiri yang begitu mudah hanyut dalam lantunan ayat suci. “Aku mendengarkan bacaan Al-Qur’an dan merasa seperti ayat-ayat itu menyentuh jiwaku,” kisahnya.
Malaika pun ingin mempelajari Islam lebih lanjut dengan bertemu komunitas muslim. Dengan segera, mereka menawarkan Malaika untuk bersyahadat. Menjadi muslim dan mempelajarinya, kata Malaika, jauh lebih baik daripada mengetahui Islam dari luar. Maksudnya, mempelajari Islam akan sangat baik jika merasakan sendiri bagaimana menjadi seorang muslim.
Maka bersyahadatlah Malaikah yang saat itu berusia 42 tahun. Ia pun mengganti namanya, meninggalkan alkohol, memakan daging halal hingga mengenakan hijab. Tak lama setelahnya, ia pun mendapat pasangan muslim dan menikah dengan akad Islam.
Tentu banyak reaksi negatif dengan keislamannya, terutama dari kalangan keluarga. Namun Malaika terus mengedukasi mereka bahwa berislam adalah pilihan hidupnya. Reaksi penolakan keluarga itu makin menjadi ketika ia menikah dengan seorang pria muslim. Banyak kerabat yang mengatakan bahwa menjadi istri seorang muslim artinya menjadi budak. Namun lagi-lagi, Malaika dengan sabar mengedukasi mereka.
Tak sangka, pilihan Malaika ini kemudian mengundang hidayah pula bagi putrinya yang berusia 29 tahun. Sang putri memutuskan bersyahadat meski Malaika tak pernah memaksanya berislam dan tak pernah menawarkannya bersyahadat. “Itu semua adalah keputusannya,” ujarnya bangga.
Meski harus menanggung segala resiko sosial selepas berislam, Malaika tetap mencintai agama ini. ia bahkan membentuk sebuah komunitas bernama Sisters in The Community yang berbasis di Kota Nottingham.
Komunitas tersebut dibentuk Malaika dengan tujuan dapat membantu para mualaf wanita yang sangat rentan atau yang sangat terisolasi setelah berislam. Mereka diajak untuk bergabung dengan komunitas muslim sesama mualaf, berbagi cerita dan derita sulitnya hidup sebagai muslimah di negeri minoritas muslim.