Muslimahdaily - Ada sebuah kisah dari hadits Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam yang mendasari kaidah toleransi beragama. Suatu hari Rasulullah didatangi beberapa orang dari kalangan kafir Quraisy. Mereka adalah Umayyah bin Khalaf, Al Walid bin Mughirah, Al ‘Ash bin Wail dan Al Aswad Ibnul Muthollib. Keempat pria terpandang Quraisy itu menawarkan sebuah kesepakatan toleransi kepada nabiyullah.
“Wahai Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian muslimin juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita saling bertoleransi dalam segala permasalahan agama. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.”
Menjawabnya, Rasulullah mendapat wahyu dari Allah, “Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang kafir),’Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukku agamaku”. (QS. Al-Kafirun : 1-6).
Dalam kisah tersebut dikabarkan bagaimana toleransi yang kelewatan dan segera ditolak oleh Rasulullah. Islam sangat menjunjung toleransi, namun dengan catatan harus terlepas dari pokok-pokok agama.
Tidak ada agama selain Islam, itulah hal utama yang menjadi landasan untuk bersikap. Dalilnya, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu.” (QS. Al-Maidah : 3).
Lalu, bagaimana toleransi yang tepat kepada non muslim? Rasulullah telah mengajarkannya dan menjadi suri tauladan perihal ini. Beliau menyikapi berbeda kepada masing-masing jenis kafir.
Ada empat jenis kafir yang dibedakan karena sikap mereka kepada muslimin dan bagaimana muslimin bertoleransi kepada mereka. Inilah toleransi positif yang diajarkan Islam dan bukan toleransi kelewatan yang membenarkan semua agama.
Allah berfirman, “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al-Mumtahah : 8).
Setiap non muslim tergolong jenis kafir yang berbeda. Berikut pembagian kafir dalam Islam dan bagaimana bermuamalah dan bertoleransi terhadap mereka.
1.Kafir Dzimmi
Mereka para kafir dzimmi merupakan orang-orang non-muslim yang tinggal di negeri muslim namun dijamin keamanannya selama ia menaati peraturan pemerintah muslim. Kafir ini membayar jizyah atau pajak kepada pemerintah muslim hingga darahnya haram diperangi dan justru harus dilindungi. Demikianlah pemerintah Islam membuat keadilan kepada masyarakat non muslim.
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Imam An Nasa’i).
2.Kafir Mu’ahad
Jenis kafir kedua yakni mereka para non-muslim yang menjalin kesepakatan dengan muslimin dalam kurun waktu yang disepakati. ikatan perdamaian ini membuat darah kafir haram ditumpah. Mereka tidak boleh diperangi selama ikatan perjanjian disepakati.
Sebagaimana kepada kafir dzimmi, Rasulullah pun bersabda, “Barang siapa yang membunuh kafir Mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Imam Al-BukharI, Imam An-Nasa`i dan Imam Ibnu Majah).
Dalam hadits lain, beliau bersabda, “Ingatlah, barang siapa yang mendzalimi seorang mu’ahad, merendahkannya, membebaninya di atas kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa keridhaan dirinya, maka aku adalah lawan bertikainya pada hari kiamat.” (HR. Imam Abu Dawud dan Imam Al Baihaqi).
3.Kafir Musta’man
Kafir Musta’man yakni kafir yang dijamin keamanannya oleh kaum muslimin. Selama mereka dijamin keamananya, maka ia pun harus diperlakukan dengan baik dan tak boleh diperangi.
Allah berfirman, “Jika seorang di antara kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia agar ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. At-Taubah : 6).
4.Kafir Harbi
Inilah jenis kafir yang berbeda dari tiga sebelumnya. Jika Dzimmi, Mu’ahad dan Musta’man dilindungi dan tak boleh diperangi, maka kafir Harbi justru diperangi sesuai dengan ketentuan syar’i. Hal ini disebabkan kafir Harbi merupakan golongan musyrikin yang memerangi muslimin. keberadaan mereka membahayakan muslimin dan selalu memusuhi dan menyerang umat Islam.
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At Taubah : 29)
Jelaslah bahwa muslimin hanya diperbolehkan memusuhi kafir harbi. Mereka yang memerangi dan memusuhi umat Islam, bukanlah pihak yang perlu ditoleransi lagi. Adapun tiga golongan kafir sebelumnya, maka Rasulullah berinteraksi dengan baik sebagaimana terhadap muslimin, dalam batasan yang tak berada di ranah agama. Kembali ke bagian awal, “Bagiku agamaku dan bagimu agamamu.”