Muslimahdaily - Dikisahkan, pada masa kepimpinan khalifah Umar bin Khattab di tahun kedelapan hijriyah tepatnya di bulan Rabiul Awwal, khalifah bersama dengan para sahabat melakukan perjalanan dari Madinah menuju ke negeri Syam. Namun perjalanan ini kemudian terpaksa dihentikan saat mencapai daerah Sargh, di perbatasan Hijaz dan Suriah.
Khalifah Umar bersama rombongannya bertemu dengan Abu Ubaidah bin Jarrah dan beberapa pimpinan pasukan Muslim dari Syam. Abu Ubaidah kemudian memberikan kabar bahwa terdapat wabah penyakit menular yang menyerang negeri Syam.
Wabah yang saat itu menyerang disebut wabah Tho’un yang awalnya menyebar di kampung kecil bernama Amawas. Oleh sebab itu pula, wabah ini juga sering disebut dengan wabah Amawas, sebuah kampung yang terletak di antara daerah Ramallah dan Baitul Maqdis.
Setelah mendengar kabar ini, khalifah Umar segera menghentikan rombongannya guna melakukan musyawarah, untuk menentukan apakah harus melanjutkan perjalanan atau kembali ke tempat yang lebih aman.
Berdasarkan hadis riwayat dari Abdurrahman bin Auf, khalifah Umar kemudian meminta para petinggi dari kaum Muhajirin untuk berkumpul.
“Apakah anda akan memutuskan keluar karena urusan ini? Kami berpendapat, tidak seharusnya kita pulang begitu saja,” ucap salah satu petinggi Muhajirin.
Perwakilan lainnya pun ikut berkomentar, “Tetapi anda membawa rombongan besar, disana juga terdapat para sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Saya tidak sependapat jika kita menghadapkan rombongan pada wabah ini.”
Perdebatan terus terjadi di antara kaum Muhajirin dengan khalifah Umar. Karena tidak segera berhenti juga, akhirnya khalifah Umar kembali meminta untuk dipanggilkan petinggi dari kaum Anshar.
Setelah kaum Anshar dipanggil oleh Ibnu Abbas, tetap saja diskusi tidak menemukan titik terang. Suara masih terbagi menjadi dua dan tidak ada pihak yang ingin mengalah. Khalifah Umar pun kembali memberikan perintah untuk memanggil para pemimpin Quraisy yang turut hijrah sebelum penaklukan Mekah.
Dalam musyawarah tersebut, petinggi dari kaum Quraisy memberikan saran, “Sebaiknya anda pulang saja bersama dengan rombongan. Jangan menghadapkan mereka dengan wabah menular ini.”
Setelah mempertimbangkan semua pendapat dari berbagai kaum, khalifah Umar akhirnya menetapkan untuk kembali pulang esok paginya dan tidak melanjutkan perjalanan ke negeri Syam.
Pergi Menuju Takdir Allah yang Lain
Setelah musyawarah selesai dilaksanakan, Abu Ubaidah selaku gubernur Suriah menentang keputusan khalifah Umar.
“Wahai Khalifah Umar, apakah kita akan lari dari ketetapan Allah?” tanya Abu Ubaidah.
Umar menjawab dengan tegas, “Iya, lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lainnya.”
Khalifah Umar pun kemudian memberikan analogi mengenai hal ini agar Abu Ubaidah bisa mengerti keputusannya.
“Bayangkan ketika kau menggembalakan unta milikmu di tempat tandus, maka itu adalah takdir Allah. Kemudian ketika engkau memilih untuk menggembalakan untamu di tempat yang subur, itu juga merupakan takdir Allah,” jelas khalifah Umar.
Abu Ubaidah yang mendengarnya masih tetap teguh dengan pendapatnya dan terus memperdebatkan hal ini.
Ketika keduanya masih beradu argumen, datanglah Abdurrahman bin Auf yang memahami situasi dan mengetahui penyebab perdebatan itu terjadi, beliau mengingatkan keduanya melalui sabda dari Nabi Muhammad.
“Maka apabila kamu mendengar penyakit itu berjangkit di suatu negeri, janganlah kalian masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kalian lari keluar.” (HR Bukhari dan Muslim dari Usamah bin Zaid)
Setelah mendengar penjelasan tersebut, akhirnya perbebatan pun berhenti. Khalifah Umar bersama pasukannya tetap memutuskan untuk kembali ke Madinah, sedangkan Abu Ubaidah tetap bertekad untuk melanjutkan perjalanan ke Syam.
Syahidnya Para Sahabat
Di Madinah, khalifah Umar terus memikirkan keadaan rakyat di Syam dan juga Abu Ubaidah. Beliau khawatir Abu Ubaidah akan ikut tertular wabah Amawas. Karena terus merasa cemas, khalifah Umar pun mengirimkan surat kepada Abu Ubaidah yang isinya mengajak sang gubernur untuk menemuinya di Madinah.
Abu Ubaidah yang menerima surat tersebut paham maksud dari khalifah Umar, tetapi dirinya memutuskan untuk tetap bertahan di Suriah. Ia pun menulis surat balasan kepada khalifah.
“Saya sudah tahu maksud tujuan Anda kepada saya. Saya berada di tengah-tengah pasukan Muslimin dan tidak ingin menjauhi mereka serta berpisah sampai nanti Allah menentukan keputusan-Nya, baik untuk saya dan untuk mereka. Lepaskanlah saya dari kehendak Anda, wahai amirul mukminin, dan biarkanlah saya bersama dengan prajurit saya.”
Sesampainya surat tersebut di Madinah, khalifah Umar menangis membacanya. Tetapi sang amirul mukminin tidak menyerah begitu saja. Ia masih berupaya untuk menyelamatkan rakyat dari wabah Amawas.
Akhirnya khalifah pun menulis surat balasan kepada Abu Ubaidah yang memerintahkan agar memindahkan kaum muslimin disana ke kawasan yang lebih tinggi dengan udara segar. Namun sayangnya, sebelum perintah tersebut dijalankan, Abu Ubaidah sudah wafat terjangkit wabah Amawas.
Setelah wafatnya Abu Ubaidah, Muaz bin Jabal menggantikan posisinya. Tetapi lagi-lagi, ia ikut terserang wabah Amawas hingga meninggal dunia beberapa hari kemudian. Akhirnya posisi ini digantikan oleh Amr bin Ash yang kala itu menjabat sebagai gubernur Mesir. Ia kemudian memberikan pidato di hadapan masyarakat Suriah dan memberikan intruksi kepada seluruh warga untuk berlindung dari wabah dan pergi ke bukit-bukit tinggi.
Masyarakat Suriah pun menaati perintah dari Amr bin Ash dan mengungsi ke daerah tinggi hingga penyebaran wabah Amawas berhenti dan hilang. Amr bin Ash kemudian mengirimkan surat kepada khalifah Umar untuk memberitahukan bahwa perintah beliau sudah dilaksanakan.
Khalifah Umar yang mendapat kabar tersebut sangat mengapresiasi usaha Amr bin Ash. Setelahnya, Umar berangkat ke Suriah setelah wabah benar-benar sudah mereda dan memberikan urusan kota Madinah sementara kepada Ali bin Abi Thalib.
Khalifah Umar mengupayakan segalanya untuk memulihkan negeri Syam hingga ke daerah pedalaman sekalipun. Kemudian ia juga mengangkat pengganti Abu Ubaidah.
Penyebaran wabah Amawas ini telah mensyahidkan beberapa sahabat Nabi selain Abu Ubaidah bin al-Jarrah dan Muaz bin Jabal, seperti Yazid bin Abi Sufyan, al-Harits bin Hisyam, Suhail bin Amr, Utaibah bin Suhail, dan Syurahbil bin Hasanah.
Dari kisah ini, kita bisa memahami bahwa apapun pilihan kita, itulah takdir Allah. Berdasarkan pandangan khalifah Umar, takdir merupakan dua kesempatan, baik dan juga buruk, dan kita sebagai manusia diberikan kebebasan oleh Allah untuk menentukan takdir kita.
Memang terdapat takdir mubram yang tidak bisa kita rubah bagaimana pun itu, seperti kematian atau jodoh. Tetapi untuk urusan lain, bukan berarti dengan mudahnya kita hanya berpasrah dengan segalanya dan tidak dibarengi dengan ikhtiar.
Pada intinya, kita harus percaya takdir yang baik maupun yang buruk merupakan ketetapan Allah ta’ala.
Wallahu a’lam.