Muslimahdaily - Sebuah kisah inspiratif datang dari seorang mualaf asal Bogor, Pierre Reynaldi. Hingga memeluk Islam, ia menjalani perjalanan iman yang luar biasa berat sekaligus indah. Saat ini, Pierre memilih tinggal di sebuah masjid di Yogyakarta dan menghafal ayat-ayat Al Qur’an dengan fasih.
Kisah bermula ketika Pierre hampir saja tewas akibat obat terlarang. Ia harus dirawat selama 3 pekan hingga akhirnya tersadar akan kekeliruannya. “Jadi ceritanya tahun 2013 Allah kasih saya harus merasakan manisnya rumah sakit selama 21 hari. Itu sakit yang dicari sendiri kali ya, namanya anak muda apa aja dicobain. Semuanyalah yang berbau-bau mabok. Kaya alkohol, obat, sabu, dan sebagai macam lainnya. Cuma karena penasaran.”
Saat tersadar di rumah sakit, Pierre memikirkan tentang Tuhan. “Ketika saya melek di rumah sakit, oh saya masih hidup. Apa maksud Tuhan dengan semua ini. Apa sih maksud Tuhan menghidupkan saya lagi. Saya mikir, mungkin saya dikasih kesempatan kedua, kenapa Tuhan pengen saya balik, kasih kesempatan saya buat taubat.”
Dari pengalaman itu, ia pun berusaha menjadi seorang kristiani yang taat. Ia giat dan aktif kembali ke gereja, bahkan memasang tato bergambar Yesus di dadanya. Namun dari sinilah awal mula ia memikirkan agama yang selama ini ia anut.
“Saya bikin tato, tapi malah tato ini bikin pertanyaan sendiri, kenapa saya bikin tato Yesus. Memangnya saya kenal dia? Saya cinta dia? Siapa sih dia? Memang dia tuhan? Dari mana kamu tahu dia tuhan? Malah bikin saya bertanya-tanya.”
Ia pun memulai perjalanannya mencari Tuhan. Al Kitab dibukanya untuk mencari tahu tentang Yesus yang selama ini ia anggap sebagai anak Tuhan. “Sampai akhirnya, belajar dari bibel, banyak kejanggalan, terutama trinitas. Saat baca, kok jadi, mohon maaf, jadi nggak masuk akal, nggak logis. Di situ saya males-malesan lagi ke gereja,” ujarnya.
(Baca Juga : Saya Menemukan Ajaran Yesus Kristus di Qur’an )
Pierre pun kembali ke kehidupan lamanya. Taubatnya hanya dalam waktu singkat. Karena ragu akan Yesus, ia kembali ke kehidupan kelam. Namun tak lama kemudian, saat nongkrong, tak biasanya ia bertemu seorang teman muslim bernama Syakib.
“Ketika kita lagi begitu (mabok-pen), tiba-tiba dia ngomongin agama, tiba-tiba dia tanya, ‘kenapa lu nyembah Yesus. Coba lu cari Yesus itu. Emang pernah Yesus klaim sebagai tuhan’.”
Mendengarnya, tersentaklah Pierre. Ia pun tersadar satu hal, bahwasanya ia tak pernah membaca di kitab sucinya tentang Yesus yang meminta untuk disembah. “Saya dalami lagi. Ternyata benar, tak ada satu ayat pun (yang menyatakan) Yesus mengklaim dirinya sendiri sebagai tuhan, atau menyuruh menyembah dirinya,” ujar Pierre yang kemudian menyebutkan ayat dalam bibel yang menyatakan ucapan Yesus hanya menyembah Tuhan.
Makin besarlah keraguan Pierre tentang Yesus sebagai Tuhan yang harus disembah. Di tengah kegalauan akan keraguan tersebut, ia pun teringat masa-masa kecilnya ketika ia dididik menjadi Nasrani yang taat. Ia bahkan menghafal ayat-ayat dalam bibel. Namun suatu hari, ia menemukan keganjilan dari kitab sucinya. Hanya saja, saat itu ia terlalu kecil untuk memahaminya.
“Lalu saya ingat waktu usia 5 SD, tinggal sama tante yang pendeta. Om tante saya gembala jemaat gereja kristen Indonesia. Keluarga mama saya orang yang taat. Suatu ketika saya ingat kejadian, waktu saya kecil, saya sekolah Minggu, setoran hafalan, 10 anak. 9 anak ini bener (bacaannya), kenapa saya salah. Padahal pasal yang dibaca sama, ayat sama. Tapi cuma saya yang salah.
Lalu ternyata itu disempurnakan. Bibel yang saya baca 90-an, teman-teman saya tahun 2000. Jadi ada beda kata. Setelah saya dewasa, (saya berpikir) kalau benar bibel adalah kitab suci, kenapa banyak revisi? Kitab suci itu kan suci, nggak boleh ditambah nggak boleh dikurangi. Kalau sudah intervensi, apa masih suci?” kata Pierre.
Jatuh Hati pada Islam
Setelah keraguan memuncak di dadanya, Pierre pun mencari agama lain yang dapat diterima akalnya. Awalnya ia takjub melihat muslimin yang giat bangun pagi untuk shalat shubuh. Ia pun kemudian tertarik belajar tentang Islam.
Pierre pun memberanikan diri untuk membaca Al Qur’an. Ia mengaku sempat kebingungan membukanya karena Al Qur’an dibuka dari kanan dan bukan dari kiri. Namun begitu membacanya, ia langsung jatuh hati. Segala keraguannya mendapat jawaban di sana.
“Di surat Al Baqarah 23-24, wa inkuntum fii raibimmimmaa nazzalnaa ‘alaa ‘abdinaa fa’tuu bisuurati-min-mitslihii, wad’uu syuhadaaa’akum-min duunillahi in-kuntum shaadiqiin. Di ayat itu, Allah menantang dan memberikan jawaban, jika kamu meragukan Al Quran, coba kamu datangkan semisalnya. Pasti kamu tidak dapat membuatnya. Dan ini jadi pegangan saya,” tutur Pierre dengan hafalan Qur’an yang fasih.
Misal Al Quran di seluruh muka bumi dibakar semua, lanjut Pierre, lalu dibuat Al Qur’an yang baru dan berbeda, tentulah mustahil dilakukan. Pasalnya, hafidz Quran bukan 1-2 orang, melainkan jutaan. Keraguannya tentang kitab suci pun terjawab sudah. Ternyata Al Quran lah kitab suci yang dapat diterima akalnya.
Adapun keraguannya tentang Yesus, ia pun kembali menemukan jawabannya di dalam Al Qur’an. Pierre bahkan menghafal ayat-ayat kitabullah tentangnya. Hasilnya, ia mendapati Tuhan yang selama ini ia cari, ialah Allah, satu-satunya yang berhak disembah dan diibadahi.
“Di dalam Al Ikhlas disebutkan Tuhan tidak beranak dan tidak diperanakkan. Inilah definisi tuhan yang sebenarnya. Nggak berwujud, nggak bisa dilihat, tapi bisa dirasakan.”
Tahun 2015, Pierre pun bersyahadat tanpa ragu. Ia telah mempelajari Islam dengan sangat baik. Perjalanannya hingga mendapat hidayah pun bukan dalam waktu singkat. “Bagi saya, Islam adalah satu-satunya agama yang bisa diterima akal, tidak ada kontradiksi, sempurna mengatur seluruh aspek kehidupan.”
Menjadi Muslim
Setelah menjadi muslim, Pierre banyak berubah. Awalnya ia mengaku masih sering meninggalkan shalat dan sedikit mabuk. Hingga kemudian, sebuah pelajaran hidup membuatnya tersadar agar tak menjadi golongan muslim KTP.
Saat itu, ia berdoa agar mendapat pekerjaan. Ternyata doanya pun segera dikabulkan. Ia mendapat pekerjaan di sebuah hotel internasional di Kota Bogor. Itu merupakan karier yang luar biasa bagi Pierre, mengingat ia tak pernah menamatkan sekolah menengah.
Namun ternyata pekerjaannya menghambatnya untuk shalat lima waktu. Pierre yang berusaha menjadi muslim sejati pun mulai galau. Ia kemudian untuk pertama kalinya melakukan shalat istikharah.
Tak lama kemudian, peristiwa mengejutkan pun terjadi. Bosnya yang biasanya baik tiba-tiba memarahinya hanya karena Pierre izin menunaikan shalat Ashar. Pierre pun memaknainya sebagai jawaban atas istikharahnya. Ia pun resign dan pindah ke kota Yogyakarta.
Di kota baru, Pierre menjadi sosok yang sangat berbeda. Ia meninggalkan semua kebiasaan lamanya yang buruk, lalu fokus mendalami ilmu agama. Ia bahkan menjadi marbot masjid di Kota Gede dan merasakan ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
“Jadi marbot, lalu saya pertemukan teman-teman luar biasa. Oh ini ketenangan hakiki seperti ini. Waktu saya resign, saya pengen shalat tepat waktu berjamaah. Allah kasih saya kerja di masjid, di mana saya nggak bisa ninggalin shalat.
Saya minta pekerjaan, langsung dikasih dua pekerjaan sekaligus. Pagi saya sopir katering akikah, sorenya saya jaga toko counter pulsa. Lalu saya direkomendasikan mondok. Cuma beberapa bulan, tapi banyak ilmu yang saya dapat di sana.”
Tanggapan Keluarga
Ketika ditanya tanggapan keluarga, Pierre pun memiliki jawaban seperti mualaf pada umumnya. Ia diasingkan, bahkan membuat ibunya menangis tanpa henti. Ketika melihat ibunya yang terus saja menangis tersedu-sedu, Pierre sempat berkata kepada ibunya, “Apa perlu saya balik ke kristen biar mama berhenti nangis?!”
Namun ternyata jawaban ibunda sangat mengejutkan, “Jangan nak. Kamu laki-laki, jalankan kewajibanmu, tunjukan ke mama bahwa islam membuatmu kamu jadi baik.”
Harapan sang ibu inilah yang juga memicu Pierre untuk menjadi muslim sejati, dan bukan sekedar Islam di KTP. Harapan sang ibunda pun benar terjadi. Menjadi mualaf membuat Pierre terlahir kembali menjadi sosok yang baru, yang saleh, pemuda masjid, penghafal Al Qur’an, serta meninggalkan semua kebiasaan haramnya.
Di akhir wawancara, mata Pierre berkaca-kaca. Ia mengenang perjalanan panjangnya hingga menjadi seperti sekarang. “Ya Allah ambil deh, ambil yang Allah mau dari saya. Keluarga saya, pekerjaan, temen, saya nggak masalah, saya nggak peduli. Cuma satu, jangan keIslaman saya yang Engkau ambil. Saya nggak punya apa-apa kalau nggak punya Islam, Islam selamatkan hidup saya, Islam mengubah hidup saya 360 derajat. Mungkin kalau nggak ada Islam, saya nggak tau saya jadi apa. Mungkin bisa mati karena pergaulan bebas, mati karena narkoba. Saya nggak mau mati dalam keadaan kafir,” pungkasnya dengan menahan air mata.
https://www.youtube.com/watch?time_continue=7&v=qoUJKmPi_Hw
Sumber: Wawancara Pierre dengan channel YouTube Vertizone TV, dipublikasikan tanggal 12 Februari 2018.