Muslimahdaily - Ketika kita melabuhkan hati dan menjalin kasih sebagai bentuk ibadah kepada Allah subhanahu wa ta'ala, terdapat banyak kebaikan pernikahan yang mengikuti kita. Akan ada hati yang saling terpaut, dan cinta serta kesenangan yang terjalin manis.
Abu ‘Abdirrahman Sayyid dalam bukunya yang berjudul Bingkisan Tuk Kedua Mempelai mengatakan, dalam sebuah ikatan pernikahan, akan tercipta saling tolong-menolong antara suami istri untuk memenuhi kebutuhan primer satu sama lain.
Sebagai seorang wanita, seorang istri tentu memiliki fitrah berupa sifat lemah lembut dan kepiawaian mengurus rumah dan mendidik anak. Kemampuan ini akan menggantikan keletihan seorang suami yang memiliki fitrah untuk mengusahakan rezeki dan memberi nafkah. Dalam melaksanakan tugas ini, seorang suami telah menunaikan bentuk tanggung jawabnya dan menunjukkan sifat kepemimpinan yang akan melengkapi sifat kewanitaan dan kelemahan dari seorang istri.
Akan tetapi, setiap kebaikan yang hendak kita lakukan akan selalu dihadapkan rintangan yang berasal dari adu rayu syaithan. Tak jarang kita menemukan pernikahan justru menjadi perkara sulit.
Salah satu rintangan yang sering kita temukan saat ini adalah mahar atau maskawin yang ditinggikan. Mahar seolah-olah menjadi ajang perdagangan dan saling membanggakan diri. Rintangan ini seringkali datang dari seorang calon istri.
Oleh karena itu, untuk memudahkan kita menjalankan ibadah yang berlangsung seumur hidup ini, penting untuk memahami bahwa meninggikan mahar adalah sesuatu yang tidak baik dalam Islam. Tingginya permintaan mahar dapat memberatkan calon pasangan kita, bahkan menimbulkan kebencian seorang suami kepada istrinya.
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya pernikahan yang paling berkah ialah yang sederhana belanjanya (maharnya)." (HR Ahmad).
Dalam hadits-hadits yang menjelaskan tentang makna mahar, tidak ada batasan jumlah baik minimal maupun maksimal dari sebuah maskawin. Segenggam tepung, sebuah cincin besi, maupun sepasang sandal, sah untuk dinamakan sebuah mahar.
Mahar juga bisa memiliki bentuk lain. Terdapat tiga bentuk mahar, di antaranya adalah mahar berbentuk materi, mahar yang dapat diambil manfaatnya, dan mahar yang kebermanfaatannya kembali kepada istri. Mahar materi dapat berupa kendaraan, perhiasan, rumah, uang, dan sebagainya. Mahar yang dapat diambil manfaatnya berupa jasa seperti kisah Nabi Musa yang menikahi istrinya dengan mahar bekerja selama delapan tahun bersama sang mertua. Sedangkan mahar yang manfaatnya kembali kepada istri dapat berupa pembebasan dari perbudakan, keislaman istri, maupun mengajarkan Al-Qur’an.
Mahar menjadi salah satu kewajiban pertama suami kepada istri, sebagai bukti kejujuran ia ingin menikahinya serta bukti perlakuan baiknya kepada calon istri. Keberadaan mahar menjadi salah satu langkah mencapai pernikahan yang diridhai Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan begitu, peran kita sebagai seorang wanita adalah tidak berlebihan dalam menentukannya. InsyaAllah, bersama-sama kita dapat menuju berkah-Nya.