Inilah Tata Cara Bersuci Saat Istihadhah

Muslimahdaily - Darah istihadhah seringkali membuat bingung kaum hawa. Pasalnya, darah ini datang diluar kebiasaan haid namun sulit membedakannya dengan darah haid. Kebingungan pun makin menjadi ketika hendak beribadah, mengingat keduanya memiliki hukum fiqh yang berbeda.

(Baca Juga : Perbedaan Haid, Nifas dan Istihadhah)

Keabsahan ibadah yang berkaitan dengan keduanya sangatlah berbeda. Jika haid dihukumi seperti nifas, yakni dilarang shalat, puasa dan ibadah lain, maka istihadhah tidaklah demikian. Muslimah yang mengalami istihadhah masih diwajibkan shalat dan puasa layaknya saat suci. Hanya saja, ada aturan-aturan bersuci sebelum melakukan shalat.

Namun sebelum melakukan tata cara bersuci istihadhah, hendaklah dipastikan terlebih dahulu bahwa darah yang keluar bukanlah darah haid. Hal ini terkait dengan mandi wajib yang memisahkan haid dengan istihadhah. Perhitungan hari juga patut dilakukan dalam kondisi tertentu.

Menurut Syaikh As Sa'di ada tiga kondisi yang perlu diperhatikan terkait haid dan istihadhah. Berikut ketiganya secara berurutan;

Pertama yakni menyesuaikan kebiasaan tanggal haid. Jika darah keluar bukan di tanggal biasa haid, maka itu adalah istihadhah. Begitu pula jika darah keluar terus menerus melebihi tanggal biasa haid, maka sisa hari dihitung sebagai istihadhah. Usai tanggal biasa haid, diharuskan bersuci dan mandi wajib. Jika darah tetap keluar, maka itu istihadhah dan tetap dianggap telah suci.

Kondisi kedua yakni jika wanita tak memiliki kebiasaan haid yang teratur. Tanggal biasa haid nya selalu berubah. Untuk kondisi ini, maka cara membedakan istihadhah dan haid dengan melihat sifat darah. Darah haid identik kental, berbau busuk dan berwarna gelap. Sementara darah istihadhah nampak cair, tak berbau dan merah terang.

Kondisi terakhir yakni jika tak dapat membedakan sifat darah dan tak memiliki kebiasaan haid teratur. Hal ini tentu menyulitkan untuk mengetahui perbedaan antara haid dan istihadhah. Menurut As Sa'di, jika terjadi kondisi demikian maka hitunglah enam hingga tujuh hari setiap bulannya. Hitungan tersebut dianggap sebagai waktu haid. Selepas itu, mandi wajib dan menjalankan ibadah seperti biasa meski masih keluar darah. Karena selepas hitungan sepekan dianggap darah istihadhah.

Lalu bagaimana bersuci dari istihadhah? Pada dasarnya istihadhah layaknya saat suci tak keluar darah apapun. Semua hukum fiqh wanita istihadhah pun sama dengan wanita suci. Hanya saja, ada pengecualian saat hendak shalat. Ada aturan ataupun tata cara yang perlu dilakukan wanita istihadhah sebelum beribadah.

Cara pertama yakni dengan mencuci bekas darah istihadhah setiap kali hendak shalat. Pastikan tidak ada bekas darah yang menempel di tubuh saat shalat.

Kemudian selanjutnya, berwudhu setiap kali hendak shalat. Maksudnya, wanita istihadhah tidak dapat melakukan satu kali wudhu untuk beberapa waktu shalat. Ia diharuskan berwudhu setiap hendak shalat meski tidak ada yang membatalkan wudhunya.

Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah kepada Fatimah Bintu Abis Hubaisy ketika sang shahabiyah bertanya perihal istihadhah, "Kemudian wudhu’lah engkau setiap kali hendak shalat," (HR. Al Bukhari).

Lalu tata cara berikutnya, yakni menyumbat aliran darah agar tidak keluar. Ini bisa dilakukan dengan menggunakan kain, kapas ataupun pembalut. Hamnah bintu Jahsyin bertanya kepada nabi mengenai istihadhah yang selalu menimpanya. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun memberikan tuntunan,

"Aku arahkan agar kau menggunakan kapas, karena dia akan bisa menahan darah,” sabda nabi. Namun kemudian Hamnah berkata, "Sesungguhnya alirannya deras sekali". Nabi kemudian bersabda, "Jikalau begitu pakailah kain." Namun Hamnah berkata masih terlalu deras. Beliau bersabda, "Ikatlah dengan kuat," HR. Abu Dawud, At Tirmidzi dan Ahmad.

Dalam hadits lain, Rasulullah bahkan memaklumi jikalau darah istihadhah terlalu deras dan tak dapat disumbat saat shalat. Beliau bersabda kepada Fathimah bitu Abi Hubaisy, "Kemudian shalatlah walaupun darah tetap keluar dan menetes di alas shalat,“ (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Add comment

Submit