Muslimahdaily - Wahsyi bin Harb Al-Habsyi, seorang budak hitam asal Habasyah (Ethiopia). Bertubuh tinggi kekar sehingga ia mendapat julukan Abu Dasamah atau pria yang berbadan subur. Ia dikenal lihai memainkan tombak. Tombak yang ia lepas selalu tepat sasaran.
Tak disangka, dibalik tubuh kekarnya, Wahsyi memiliki dendam kepada Hamzah. Ia amat membenci Hamzah karena telah membunuh pamannya, Thu’aimah bin Adi bin Al-Khiyar dalam Perang Badar.
Perang Badar memang telah merenggut banyak nyawa pasukan kafir Quraisy. Tak terima dengan kekalahan yang menimpa, para kafir Quraisy mengadakan rapat dan mengatur strategi untuk menghukum nabi dan para pasukannya.
Saat rapat berlangsung, Hindun memberi masukan agar Wahsyi diturunkan untuk membunuh Hamzah. Hindun tahu bahwa Wahsyi menyimpan dendam pada Hamzah. Ia memanfaatkan emosi Wahsyi dan keahliannya dalam melepar tombak untuk menuntaskan sakit hati Hindun yang sanak saudaranya tewas di tangan pasukan muslimin.
Wahsyi yang hanya sebagai budak diiming-imingi kebebasan oleh tuannya jika dirinya berhasil membunuh Hamzah bin Abdul Muthallib dan mambawakan jantung Hamzah pada Hindun.
Perang Uhud pun terjadi. Wahsyi yang ditugaskan membunuh Hamzah fokus mengintai targetnya di medan perang. Saat keadaan makin berkecamuk, Wahsyi melancarkan tombaknya dari kejauhan ke arah Hamzah dan menancap tepat dari berlakang tubuhnya.
Tak cukup disitu, Wahsyi dengan tega membelah dada Hamzah serta mencabiknya lalu mengeluarkan jantungnya. Isi perut Hamzah ia bedah, hatinya ia kunyah. Wajahnya ia rusak, hidung dan telinganya ia jadikan kalung. Sungguh kejam apa yang dilakukan Wahsyi, si budak hitam.
Seusai Perang Uhud, Wahsyi kembali ke Mekkah. Sesuai perjanjian yang telah disepakati, dibebaskan oleh tuannya, Jubair bin Muth’im.
Kebebasan dirinya dari perbudakan tak menjadikan jiwanya turut bebas. Ia dilanda gelisah yang berkepanjangan saat semakin banyaknya penduduka Makkah, Madinah dan Thaif berbondong-bondong masuk Islam.
Wahsyi dilanda ketakutan. Ia merasa dirinya semakin dikepung. Tak ada tempat baginya untuk melarikan diri. Penyesalan demi penyesalan menghujani dirinya.
Melihat kondisi jiwa Wahsyi yang terpuruk, sahabatnya pun datang dan menasihati, “Pelarian dirimu sia-sia, Wahsyi. Demi Allah, Muhammad tak akan membunuh orang yang masuk agamanya dan mengakui kebenaran Allah dan rasul-Nya.”
Setelah mendengar nasihat mulia itu, Wahsyi dengan mantap keluar dari Thaif bersama utusan Rasulullah. Wahsyi pun menemui Rasul dan mengucap dua kalimat syahadat di hadapannya.
Rasulullah bertanya, “Apakah engkau Wahsyi?”
“Iya, benar.” Jawab Wahsyi.
Rasul bertanya kembali, “Apakah engkau telah membunuh Hamzah?”
“Perkara itu sebagaimana yang telah sampai pada anda.” Jawab Wahsyi.
Mendengar pernyataan itu, Rasul berkata, “Dapatkah engkau menjauhkan wajahmu dariku?”
Mendengar jawaban itu, Wahsyi merasa amat menyesal akan perbuatannya. Ia takut jika suatu saat Rasul melihat wajahnya. Wahsyi pun pergi dari hadapan baginda Rasul dengan membawa segenap rasa bersalah.
Meskipun dirinya tak mungkin bertemu Rasul, ia amat merindukan Rasul. Ia begitu ingin memandang wajah Rasul sebagaimana para sahabat melakukannya. Tapi kesempatan itu belum ia dapatkan sampai baginda Rasul wafat.
Hidup Wahsyi selalu dihantui kenyataan bahwa dirinya telah membunuh Asadullah, Hamzah bin Abdul Muthallib, pahlawan Islam yang teramat besar jasanya. Ia selalu mencari kesempatan agar dirinya dapat menebus dosa besar itu.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad, estafet kepemimpinan umat Islam beralih ke tangan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Tantangan terbesar yang dihadapi bukan lagi memerangi Kaum Quraisy tetapi memerangi nabi palsu yang bermunculan. Salah satunya adalah Musailamah Al-Kazzab.
Khalifah Abu Bakar pun menyiapkan strategi untuk memerangi musuh Allah, Musailamah. Abu Bakar mengerahkan pasukannya ke Yamamah untuk menumpas nabi palsu. Wahsyi tak ingin menyia-nyiakan kesempatannya. Ia pun turut serta dalam pasukan itu.
Jagoan tombak itu memperteguh niatnya dan mendedikasikan dirinya untuk Islam. Lembing runcing di ujung tombaknya telah terasah, semangatnya pun telah berkobar. Dengan mantap ia berangkat menuju Yamamah dan bertekad membunuh Musailamah atau mati syahid.
Dalam aksi menumpaskan nabi palsu itu, kaum Muslimin berhasil mendobrak pertahanan Musailamah dan para pengikutnya. Mereka berbondong-bondong menyerbu markas nabi palsu tersebut.
Wahsyi melompat ke barisan depan dan mengintai Musailamah. Ia pun mulai membidik Musailamah dengan tombak runcingnya. Tombak yang dahulu ia gunakan untuk membunuh manusia mulia. Tombak runcing Wahsyi pun melesat cepat dan menancap kuat di tubuh Musailamah. Nabi palsu itupun jatuh tersungkur.
“Sungguh, dengan tombak itu aku telah membunuh sebaik-baiknya manusia. Dan dengan tombak itu pula, aku telah membunuh seburuk-buruknya manusia.”