Muslimahdaily - Sejak belia, Hindun sudah menunjukkan kepribadian yang tangguh dan pemberani. Ia tumbuh dan dikenal sebagai seorang pemikir serta penyair wanita, yang juga cantik dan fasih berbahasa. Ketika akhirnya menikah dengan Abu Sufyan, seorang pembesar Mekkah, Hindun memiliki pamor sebagai seorang istri dan ibu yang memiliki kewibawaan. Meski begitu, Hindun tumbuh dengan kebencian yang teramat sangat kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam dan umat Islam. Kebencian itu memuncak tatkala ayah, paman, dan saudara laki-lakinya terbunuh oleh pasukan kaum muslimin di Perang Badar.
Hindun yang menangisi kepergian keluarga terdekatnya itu membalaskan dendamnya dengan memerintahkan Wahsyi, budaknya, untuk membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib pada Perang Uhud. Perintah tersebut ditukar dengan kebebasan dan sejumlah harta untuk sang budak. Namun, Hindun belum berhenti. Dirobeknya dada dan perut Hamzah, dan dikunyahnya hati sang Singa Allah walaupun kemudian Hindun memuntahkannya karena tidak mampu menelan. Hindun dan teman-temannya pun menjadikan hidung serta telinga kaum Muslimin sebagai perhiasan. Berita ini sungguh menyayat hati Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam ketika sampai ke telinganya. Beruntungnya Nabi Allah, tak lama kemudian diturunkan ayat untuk menenangkan hati Rasul yang bersedih.
Tak lama kemudian, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam dan sahabat-sahabatnya berhasil menaklukkan kota Mekkan hampir tanpa kekerasan sama sekali. Bagai bom waktu, cahaya Islam hanya tinggal menunggu kapan ia bisa menyinari kalbu yang berhak memperoleh sinarnya. Peristiwa Fathul Mekkah ini menjadi titik balik bagi Hindun, sang pemakan hati, yang kemudian tersentuh dan luluh hatinya melihat kaum Muslimin yang masuk ke Mekkah dengan damai.
Keinginannya untuk turut berbaiat dan melaksanakan janji kepada Nabi Muhammad disambut dengan rasa kaget dari suaminya yang telah memeluk Islam lebih dahulu. “Bukankah aku lihat kau kemarin begitu membencinya,” kata Abu Sufyan. Hindun menjawab, “Demi Allah, aku belum pernah melihat Allah disembah dengan sebenar-benarnya di dalam masjid sebagaimana yang aku lihat kemarin malam. Demi Allah, kemarin malam aku melihat orang-orang tidaklah melakukan sesuatu di masjid melainkan mereka shalat dengan berdiri, rukuk, dan sujud.”
Hindun menghadap Rasulullah berbondong-bondong bersama penduduk Mekkah. Rasa takut dan kekhawatiran akan dikenali akibat kesalahan di masa lalunya membuat Hindun menutupi wajahnya dengan cadar. Ia takut Rasulullah tidak mampu memaafkannya dan membalas perbuatannya dulu. Namun ketika cadar itu dibuka, Rasulullah berkata, “Ahlan wa sahlan, selamat datang untukmu (dalam agama ini).”
“Demi Allah, tiada sesuatu pun di muka bumi ini penduduk yang berdiam di tenda-tenda lebih aku cintai dari mereka selalu bersama dengan tendamu. Dan sungguh aku telah menjadi bagian dari itu. Dan tidak ada di muka bumi ini penduduk yang berdiam di tenda-tenda lebih aku cintai dari mereka yang selalu ingin dekat denganmu.” ucap Hindun atas sambutan itu.
Hindun menyelesaikan baiatnya dan kembali pulang. Sesaimpainya di rumah, Hindun memukulkan sebuah kapak besar kepada seluruh berhalanya hingga hancur berkeping-keping. Ia merasa telah tertipu untuk waktu yang lama. Hindun menjadi muslimah yang ahli ibadah, rajin menunaikan shalat malam dan berpuasa seiring menambah pengetahuannya tentang agama Islam serta memperkuat statusnya sebagai kaum Muslimin.
Tak berselang lama setelah memeluk Islam, Hindun terpukul dan tidak dapat menyembunyikan kesedihannya ketika Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam wafat. Hatinya dipenuhi rasa sesal karena merasa terlalu lama memusuhi Rasulullah dan baru sebentar saja menerima Islam. Hindun, yang tidak pernah ditinggalkan oleh ketangguhan dan keteguhan hatinya, terus meningkatkan ibadah dan menjaga baiatnya kepada agama Allah setelah kepergian sang Rasul.
Hindun tidak ingkar janji. Ia memainkan peran penting dalam Perang Yarmuk. Kaum Muslimin terdesak musuh dan bertempur habis-habisan. Tidak sedikit tentara Muslim yang memutuskan untuk melarikan diri. Hindun dan kaum wanita memasang badannya, menghalau tentara Muslim yang bergerak mundur dan membangkitkan semangat pasukan. Hindun menuju barisan depan sambil membawa tongkat pemukul tabuh dan membaca bait-bait syair yang dibacanya pada Perang Uhud. Hindun mendapatkan banyak luka serius, namun tidak menghalanginya untuk memompa semangat tentara muslim dan berteriak, “Percepatlah kematian mereka dengan pedang kalian, wahai kaum muslimin!”
Hindun turut menemukan Abu Sufyan, sang suami, yang berputar dan berencana melarikan diri. Dikejarnya kuda yang ditumpangi Abu Sufyan, kemudian dipukul sekuat tenaga dengan tongkat dalam genggaman. Hindun berteriak, “Hendak ke mana engkau, wahai putra Shakhr? Ayo, kembali lagi ke medan perang! Berjuanglah habis-habisan agar engkau dapat membalas kesalahan masa lalumu, saat engkau menggalang kekuatan untuk menghancurkan Rasulullah!”
Hindun wafat pada tahun ke-14 Hijriyah di masa pemerintahan Umar bin Khathab setelah mencurahkan segenap usaha dan kemampuannya untuk menegakkan janji setia yang pernah Ia ucapkan di hadapan Rasulullah. Ia meninggal di atas tempat tidurnya. Muawiyah bin Abu Sufyan menggambarkan ibunya sebagai pemilik kewibawaan di zaman Jahiliyah, dan pemilik kemuliaan yang tinggi di zaman Islam.