Muslimahdaily - Kitab Irsyâdul ‘Ibâd ilâ Sabîlir Rasyâd karya Syekh Zainuddin ibn Abdul Aziz al-Malibari menceritakan sebuah kisah dari seorang ulama zuhud, Abdullah bin Mubarak (w. 797 M), yang memiliki cita-cita untuk dapat berhaji dan berjihad. Untuk itu, ia bekerja keras mengumpulkan uang. Dan ketika terkumpul, ia pun melaksanakan niatnya untuk menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci.
Di suatu malam ketika ia tertidur di Masjidil Haram, ia bermimpi menjumpai dua malaikat yang turun ke bumi. Kedua malaikat itu bercakap-cakap satu sama lain tentang orang-orang yang berhaji waktu itu.
“Berapa banyak orang berhaji tahun ini?” tanya salah satu malaikat.
“600 ribu,” jawab malaikat lainnya. “Berapa di antara mereka yang hajinya diterima?” tanya malaikat yang pertama. Malaikat yang kedua kemudian menjawab,
“Tidak ada. Namun, ada seorang lelaki tukang sol sepatu di Damsyiq bernama Ali bin Al-Muwaffaq yang tidak berhaji, tetapi Allah menghitungnya sebagai haji mabrur. Dan bahkan karena dia, Allah memabrurkan haji 600 ribu orang ni.”
Abdullah bin Mubarak tersentak dari tidurnya. Ia terbangun dan segera menuju Damaskus mencari Muwaffaq. Ia menelusuri kediaman Muwaffaq hingga akhirnya mereka saling bertemu. Abdullah mengucap salam dan menceritakan mimpinya kepada Muwaffaq. Ia menanyakan rahasia di balik predikat mabrur haji yang Muwaffaq peroleh. Mendengar cerita Ibnu Mubarak, maka menangislah Muwaffaq hingga akhirnya jatuh pingsan. Setelah sadar, Muwaffaq mulai bercerita.
Muwaffaq menceritakan bahwa selama lebih dari 40 tahun, dia berkeinginan untuk melakukan ibadah haji. Keinginan ini cukup berat bagi dirinya yang hanya bekerja sebagai seorang tukang tambal sepatu. Meski begitu, Muwaffaq tak pernah menyerah karena ia percaya mimpinya bukan sesuatu yang mustahil. Sampai akhirnya, setelah menabung selama 30 tahun, ia berhasil mengumpulkan uang sekitar 350 dirham. Ia yakin pada tahun tersebut, tabungannya akan genap menjadi 400 dirham. Ini menandakan ia sudah memiliki cukup bekal untuk berangkat ke Tanah Suci.
Ketika musim haji tiba, ia mempersiapkan diri untuk berangkat bersama istrinya. Menjelang keberangkatan itu, istrinya yang sedang hamil mencium aroma makanan yang sangat sedap dari tetangganya. Muwaffaq pun datang berkunjung dan memohon agar istrinya diberikan sedikit makanan tersebut.
Namun, mendengar permintaan Muwaffaq, wanita tetangganya justru menangis tersedu-sedu. Si wanita berkata, "Sudah tiga hari ini anakku tidak makan apa-apa. Hari ini, aku melihat seekor keledai mati tergeletak dan kemudian aku memotongnya, lalu kumasak untuk mereka. Ini terpaksa kulakukan karena kami memang tidak punya. Jadi, makanan ini tidak layak buat kalian karena makanan ini tidak halal bagimu,” terangnya sambil menangis.
Mendengar hal itu, tanpa berpikir panjang Muwaffaq langsung kembali ke rumahnya mengambil tabungannya 350 dirham untuk diserahkan kepada keluarga tersebut. “Belanjakan ini untuk anakmu. Inilah perjalanan hajiku,” ungkapnya.
Demikianlah kisah seorang tukang tambal sepatu yang mengajarkan kita bahwa beribadah haji hanya untuk kepentingan pribadi, sedangkan menyantuni anak yatim dan memberi makan fakir miskin menjadi ibadah sosial yang manfaatnya lebih besar utama. Abdullah Ibn al-Mubarak setelah selesai mendengar cerita ini berkata, “Malaikat telah berkata jujur dalam mimpiku, dan Penguasa surga benar dalam keputusan-Nya.”
Sumber : Rerpublika.co.id